Self-Diagnosis di TikTok: Edukasi atau Malah Bikin Panik?

Self-Diagnosis di TikTok: Edukasi atau Malah Bikin Panik?

Self-Diagnosis di TikTok: Edukasi atau Malah Bikin Panik?

Diposting di kelasnapadede · Kategori: Psikologi Gen Z

Temen-temen mungkin pernah lagi scroll TikTok terus ketemu konten psikologi. Ada yang bahas soal ADHD, bipolar, depresi, sampai overthinking. Kadang rasanya pas banget sama diri kita, terus mulai mikir, “Jangan-jangan gue punya gangguan mental juga?” Fenomena kayak gini sering disebut self-diagnosis lewat media sosial.

Edukasi yang Bikin Melek

Sebenernya ada sisi positifnya. Konten psikologi di TikTok bisa bikin kita lebih peduli sama kesehatan mental. Dulu ngomongin depresi atau anxiety itu masih dianggap tabu, sekarang jadi lebih terbuka. Penelitian Akram dkk. (2021) nunjukin kalau media sosial punya pengaruh besar dalam ningkatin literasi kesehatan mental di kalangan remaja dan anak muda. Jadi kalau dipakai dengan benar, konten ini bisa jadi awal yang baik buat sadar pentingnya kesehatan mental.

Tapi Bisa Juga Bikin Panik

Masalahnya, nggak semua informasi di TikTok akurat. Banyak yang asal bikin konten tanpa dasar ilmiah. Riset Basch dkk. (2022) nemuin kalau sebagian besar video tentang kesehatan mental di TikTok masih minim sumber valid. Akibatnya, orang bisa salah paham, buru-buru merasa punya diagnosis tertentu, dan akhirnya malah stres atau makin overthinking.

Bedain Self-Check dan Self-Diagnosis

Yang sering bikin bingung itu bedanya self-check sama self-diagnosis:

  • Self-check: kita aware kalau ada hal yang bikin nggak nyaman, terus nyari tahu atau cari pertolongan lebih lanjut.
  • Self-diagnosis: langsung mutusin sendiri kalau kita punya gangguan tertentu tanpa konsultasi.

Yang aman itu self-check. Kalau memang gejalanya ganggu kehidupan sehari-hari, lebih baik diskusi sama psikolog, konselor sekolah, atau tenaga profesional.

Tips Biar Nggak Kebablasan

  1. Jangan gampang percaya semua konten di TikTok.
  2. Ikutin akun yang jelas kredibilitasnya, misalnya psikolog atau organisasi kesehatan.
  3. Jadikan konten hanya sebagai pengingat, bukan patokan buat diagnosa.
  4. Kalau merasa butuh, jangan ragu untuk cari bantuan profesional.

Penutup

Self-diagnosis di TikTok bisa jadi jalan buat lebih aware sama kesehatan mental, tapi juga bisa bikin panik kalau nggak disaring. Intinya, nikmati konten sebagai bahan belajar, tapi tetap inget kalau diagnosis yang valid cuma bisa dilakukan sama tenaga profesional.

Referensi singkat:
  • Akram, U., et al. (2021). Social media and mental health awareness among young adults.
  • Basch, C. H., et al. (2022). Mental health content on TikTok: An analysis of accuracy and reliability.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama